BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Mbah
windusari (syekh anawawi asyodik) yang membuka dusun windusari di desa erorejo
kecamatan wadaslintang kabupaten wonosobo, mbah windusari berasal dari jepara
anak ke tiga sunan muria. Dulu mbah windusari tinggal di puncak gunung
windusari, yang sekarang menjadi makam mbah windusari tersebut, dan makam
tersebut masih dirawat oleh masyarakat sekitar, dan sampai sekarang ini sudah
berganti tujuh juru kunci. Dalam ceritanya ini terkandung unsur-unsur atau
motif yang membangun cerita, yaitu; tema, latar, tokoh dan penokohan, alur,
sudut pandang dan amanat.
B.
Tujuan
Makalah
1. Agar
cerita atau sejarah tetap diketahui oleh generasi penerus.
2. Agar
masyarakat atau desa sekitar mengetahui sejarah tersebut.
BAB
II
RUMUSAN
MASALAH
1.
Bagaimana sejarah mbah windusari (syekh
anawawi asyodik) dan unsur-unsur (motif) yang terkandung dalam cerita ?
BAB
III
PEMBAHASAN
A.
Sejarah
Mbah Windusari
Mbah
Windusari (syekh anawawi asyodik) adalah seorang syekh asli dari jepara anak ke
tiga dari syekh umar sa’id (sunan muria) dan mempunyai dua orang kakak, yaitu
pabelan dan ki ageng jalaludin. Dahulu mbah windu sari ini bernama tunggul
namun berganti nama menjadi syekh Anawawi Asyodik karena pernah mondok atau
berguru agama pada sunan kudus (sayyid ja’far syodik) dan oleh sayyid ja’far
syodik nama tunggul diganti menjadi syekh anawawi asyodik.
Dahulu
tunggul (syekh anawawi asyodik) ini menyukai gadis cantik yaitu putri
gemenggeng yang sekarang menjadi desa kali gowong (sebelah barat gunung
windusari). Dia datang ke gemenggeng dan berniat penuh optimis untuk
mempersunting putri tersebut, namun putri gemenggeng ini tidak bersedia menikah
dengan ki tunggul, mengetahui cintanya ditolak kemudian ki tunggul ini pergi ke
sebuah gunung dan membuka dusun yang kemudian di namai dusun windusari, dari
itu lah syekh anawawi asyodik disebut oleh warga sekitar dengan sebutan mbah
windusari, karena masih merasa sakit hati akibat cintanya ditolak dia bersumpah
di puncak gunung windusari “Bahwa orang windusari tidak akan pernah berjodoh
dengan orang gemenggeng atau kaligowong” akhirnya mbah windusari sampai
meninggal tidak menikah, dan sumpahnya tersebut terbukti sampai sekarang warga
windusari tidak ada yang menikah dengan orang kaligowong, setelah dibukanya
dusun tersebut syekh anawawi asyodik berniat membuka sebuah pondok pesantren,
namun tidak jadi.
Pada
saat tinggal didusun windusari, mbah windusari mempunyai suatu hobi yaitu
bermain kitiran (baling-baling), dan membuatnya dari kayu walang dengan ukuran
yang sangat besar setelah jadi, mbah mengangkat kitiran tersebut ke puncak
gunung untuk dimainkan, pada saat kitiran berputar suaranya terdengar sangat
jelas seperti suara pesawat terbang, namun sampai sekarang bekas kitiran
tersebut belum bisa diketemukan, dan pada saat mbah mengangkat kitiran tersebut
ke pucak gunung, sabit (kudhi) nya terlempar ke gunung merayang yang dipercaya
gunung tersebut adalah patahan dari gunung windusari, kemudian iket dikepala
simbah pun ikut terlempar ke wonosobo yang sekarang ini menjadi alun-alun kota
wonosobo dan ditempat terjatuhnya iket simbah ini oleh masyarakat sekitar
dibuat makam namun anehnya jika ada orang berziarah atau nyekar di makam
tersebut bila turun hujan orang tersebut tidak kehujanan masih tetap dalam
keadaan kering, padahal makam tersebut tidak diberi rumah atau atap, itu
menandakan bahwa iket simbah yang selalu melindungi simbah dari panas maupun
hujan.
Setelah
iket dan sabit (kudhi) terlempar simbah merasa tidak punya apa-apa kemudian turun dari puncak menyuruh anak cucunya untuk
meluaskan desa, kemudian mbah ambles bumi di puncak gunung windusari tersebut oleh
masyarakat sekitar kepergian mbah bukan karena meninggal dunia tetapi
mngamblaskan diri kedalam bumi dan menandai makamnya dengan dua batu berbentuk
segitiga yang ditancapkan di tanah, dan di depan makamnya tersebut ada pohon
pandan bercabang tiga yang konon dipercaya pohon tersebut dulu keluar air yang
digunakan untuk wudlu oleh mbah windusari dan pohon tersebut tidak bisa
dipotong sembarangan.
Menurut
mbah suyoto ( mbah sembung ) juru kunci makam mbah windusari (syekh anawawi
asyodik) bahwa alam sekitar makam adalah rumah simbah yang sangat megah dan
terdapat sebuah sumur dengan timba dan gayung emas yang dipercaya sebagai sumur
untuk mandi mbah windu pada masa hidupnya, sumur tersebut bernama sumur
sinangka dan sumur tersebut oleh mbah windu digunakan sebagai irigasi sawah
melalui talang emas, pada waktu itu sawah yang diairi oleh simbah yaitu sawah
yang berada di desa sumbersari dan desa kaligowong, dan dipercayai bila ada
orang yang bisa mandi disumur mbah windusari orang tersebut akan kebal dari
benda-benda tajam, selain itu disebelah utara makam juga terdapat rumput-rumput
yang sangat hijau dan tinggi yang dipercaya sebagai pakan sapi-sapi simbah
windusari karena dulu mbah windusari mempunyai sapi yang sangat besar dalam
jumlah yang sangat banyak, berwarna hitam dan putih. Si juru kunci tersebut
mengetahui semua itu, diberi tahu oleh mbah windusari melalui mimpi atau
seolah-olah mendatangi ke rumah juru kunci, dan bila dlihat secara kasat mata
sekitar makam hanya kebun pinus biasa.
Di
gunung windusari ini terdapat gambar sapi berwarna putih diatas batu hitam yang
disebut dengan sapi gemarang dan setiap malam jum’at kliwon dan selasa kliwon
sapi tersebut akan berbunyi dan jika ada sapi warga yang menjawab bunyi sapi
gemarang, sapi tersebut akan gila. Tapi sekarang gambar sapi gemarang itu sudah
tidak bunyi lagi karena terkena petir, tapi dipercayai bahwa sapi itu masih
hidup hanya kaget terkena petir, ini menjadi bukti bahwa dulu mbah windusari
memang memelihara sapi dan konon sebelah utara makam itu adalah rumput-rumput
yang hijau tinggi yang mungkin sebagai pakan sapi-sapinya. Selain itu bukti
lainnya adalah sumur suci atau sumur keramat diatas batu yang berada sekitar
700 m dari makam mbah windusari yang dipercayai bocoran dari sumur sinangka
milik mbah windusari, sumur keramat tersebut airnya dianggap suci, sangat
jernih dan dapat langsung diminum.
Sampai
sekarang makam mbah windusari ( syekh anawawi asyodik) banyak didatangi oleh
peziarah untuk mendo’akannya, namun anehnya jika pada malam hari datang kesana
untuk mendo’akan dengan baca surat yasin meskipun tidak ada penerangan semua
akan terasa terang dan bisa membaca surat yasin tersebut, terkadang mbah windusari
ini juga menampakkan dirinya pada peziarah yang datang. Namun ada juga yang
datang ke makam untuk melakukan ritual-ritual secara kejawen, itu pun kalo
permintaannya di kabulkan akan didatangi sosok ghaib biasanya berwujud binatang
buas.
B.
Analisis
Cerita Sejarah Mbah Windusari
a. Tema
Tema
dalam cerita sejarah mbah windusari, yaitu cinta bertepuk sebelah tangan.
“Dia
datang ke gemenggeng dan berniat penuh optimis untuk mempersunting putri
tersebut, namun putri gemenggeng ini tidak bersedia menikah dengan ki
tunggul...”
b. Alur
Alur
dalam cerita sejarah mbah windusari, yaitu flashback.
“...dahulu
mbah windu sari ini bernama tunggul namun berganti nama menjadi syekh Anawawi
Asyodik karena pernah mondok atau berguru pada sunan kudus (sayyid ja’far
syodik) dan oleh sayyid ja’far syodik nama tunggul diganti menjadi syekh
anawawi asyodik.”
c. Tokoh
dan Penokohan
Ø Mbah
windusari (syekh anawawi asyodik), baik mempunyai jiwa sosial
“....sumur tersebut
bernama sumur sinangka dan sumur tersebut oleh mbah windu digunakan sebagai
irigasi sawah melalui talang emas, pada waktu itu sawah yang diairi oleh simbah
yaitu sawah yang berada di desa sumbersari dan desa kaligowong...”
Ø Syekh
sayyid ja’far syodik (sunan kudus)
Ø Mbah
Bupati (dari loano purworejo)
Ø Ki
ageng jalaludin (anak ke-1 sunan muria)
Ø Pabelan
(anak ke-2 sunan muria)
d. Latar
Ø Latar
tempat
Puncak gunung windusari
“...karena masih merasa sakit hati
akibat cintanya ditolak dia bersumpah di puncak gunung windusari “Bahwa orang
windusari tidak akan pernah berjodoh dengan orang gemenggeng atau
kaligowong”....”
Dusun
Gemenggeng
“Dia datang ke gemenggeng dan
berniat penuh optimis untuk mempersunting putri tersebut, namun putri
gemenggeng ini tidak bersedia menikah dengan ki tunggul...”
e. Sudut
Pandang
Dalam
cerita sejarah mbah windusari ini menggunakan sudut pandang, yaitu persona
ketiga.
“Mbah
Windusari (syekh anawawi asyodik) adalah seorang syekh asli dari jepara anak ke
tiga dari syekh umar sa’id (sunan muria) dan mempunyai dua orang kakak, yaitu
pabelan dan ki ageng jalaludin.”
f. Amanat
Jadilah
orang yang peduli dengan sesama dan jangan jadi orang pendendam.
“...karena masih merasa sakit hati akibat
cintanya ditolak dia bersumpah di puncak gunung windusari “Bahwa orang
windusari tidak akan pernah berjodoh dengan orang gemenggeng atau
kaligowong”...”
C.
Nilai
dan Fungsi Yang Terkandung
Nilai
yang terkandung dalam folklor tersebut adalah nilai sosial karena folklor itu
sebagai alat untuk menyatukan orang-orang dari berbagai kalangan yang datang
untuk ikut menghormati atau mendo’akan misalnya pada saat khaulnya mbah
windusari, dan dalam folklor tersebut juga mengajarkan tentang ajaran sosial
misalnya saat sumur sinangka digunakan
oleh mbah windusari untuk mengairi sawah-sawah di desa sekitarnya.
Folklor ini juga mengandung nilai religi karena banyak orang datang untuk mendo’akan
dan setiap khaulnya diadakan pengajian dan do’a-do’a bersama.
Fungsinya
yaitu sebagai alat pemersatu antara kebudayaan atau tradisi orang jawa yang
biasanya datang ke makam untuk napak tilas atau mundhi meminta sesuatu hal bagi
dirinya dengan orang islam yang datang untuk berziarah mendo’akan mbah
windusari (syekh anawawi asyodik).
BAB
IV
PENUTUP
Kesimpulan
Mbah
windusari ini aslinya adalah seorang syekh atau keturunan wali dari jepara,
yaitu anak ke tiga dari syekh umar sa’id (sunan muria) membuka dusun di
pegunungan dan diberi nama dusun windusari yang berada di desa erorejo
kecamatan wadaslintang kabupaten wonosobo, sehingga masyarakat sekitar
menyebutnya mbah windusari dan sekarang menjadikan makamnya tersebut sebagai
punden.
Narasumber
Mbah
suyoto (mbah sembung) juru kunci makam mbah windusari (syekh nawawi asyidik)
yang ke tujuh.
Bapak
Slamet sahono warga sekitar dan juga sebagai pengurus wisata makam syekh
anawawi asyodik.
Bapak
H. Nurhamid selaku sekertaris desa erorejo.
Bapak
Munsorif hafifi selaku pengurus wisata makam syekh anawawi asyodik.
Bapak Ahmad
saefudin dan Bapak Muh yasirun warga sekitar.
𝘔𝘦𝘯𝘶𝘳𝘶𝘵 𝘴𝘶𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘬𝘢𝘮𝘪 𝘣𝘢𝘤𝘢 𝘴𝘶𝘯𝘢𝘯 𝘮𝘶𝘳𝘪𝘢 𝘢𝘵𝘢𝘶 𝘴𝘢𝘺𝘪𝘥 𝘶𝘮𝘢𝘳 𝘴𝘢'𝘪𝘥 𝘮𝘦𝘮𝘱𝘶𝘯𝘺𝘢𝘪 𝘦𝘮𝘱𝘢𝘵 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘢 𝘥𝘢𝘯 𝘱𝘶𝘵𝘳𝘪 𝘥𝘢𝘳𝘪 𝘥𝘶𝘢 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘪𝘴𝘵𝘳𝘪, 𝘯𝘢𝘮𝘶𝘯 𝘵𝘢𝘬 𝘢𝘥𝘢 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘣𝘦𝘳𝘯𝘢𝘮𝘢 𝘳𝘢𝘥𝘦𝘯 𝘵𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘭. 𝘉𝘪𝘴𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘴𝘦𝘣𝘶𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘥𝘢𝘳𝘪𝘮𝘢𝘯𝘢 𝘢𝘯𝘥𝘢 𝘮𝘦𝘯𝘥𝘢𝘱𝘢𝘵𝘬𝘢𝘯 𝘴𝘶𝘮𝘣𝘦𝘳 𝘤𝘦𝘳𝘪𝘵𝘢 𝘢𝘯𝘥𝘢?
BalasHapus